Jurnal Jona (Page 8)

Meet My Friend, Lily

Paper White
6 min readFeb 15, 2022
Paper White

8 Agustus 2021

Lily mendongak dari buku yang telah dia baca selama beberapa menit, bibirnya meregangkan senyum ramah ketika matanya menangkap sosok saya di depan pintu masuk, “Hei! di sini,” dia menunjuk ke tempat kosong di mana saya bisa duduk. Kulihat dia menyeka sudut mulutnya dengan serbet lalu memusatkan perhatiannya kepada saya yang baru mendarat di sebuah kursi di depannya.

“Kamu tidak memberi tahu telah tiba sejak dua hari yang lalu? Menyebalkan,” nada bicaranya terdengar jengkel, namun kejengkelan itu tidak tampak di matanya. Saya hanya tersenyum dan meminta maaf karena belum sempat mengabari Lily sejak tiba di kota. Ada alasan untuk sikap saya tersebut, tetapi saya tidak mengatakan itu pada Lily. Kenapa? It’s private.

“Saya melihat tulisan mu di blog, itu sangat menarik.” Baiklah, saya tidak menyangka Lily akan mengatakan hal tersebut. Pasalnya begitu banyak kalimat basa-basi yang bisa dia katakan untuk awal pembicaraan kami siang itu. Wajah saya pasti bersemu merah, tidak salah lagi.

Saya bukan penulis — jika yang kalian maksud adalah seseorang yang karya tulisannya telah terjual lebih dari satu juta eksemplar dan menjadi Award-winning, bukan, That’s not me — itu hanya berupa tulisan-tulisan ringan dan remeh, namun bisa saya katakan disana adalah tempat ternyaman buat saya untuk berekspresi. Walaupun begitu, saya sungguh menghargai apresiasi yang Lily berikan kepada saya, membaca tulisan saya.

“Katakan, apa yang membuatmu memutuskan untuk melakukan hal itu, Jona? Jujur saja… jika melihat kamu beberapa tahun yang lalu, saya tidak akan berani berimajinasi kamu melakukan hal ini, kamu sangat tertutup.” dia berkata ketika selesai menelan potongan Apple Strudel dimulutnya.

Jawaban apa yang harus saya katakana padanya? Showing up myself, apakah ini tepat? Karena inilah yang sedang saya coba lakukan. Showing up dengan mendefinisikan diri saya dengan tindakan saya sendiri, nilai pribadi, dan tidak lagi menempatkan diri saya pada Stereotip Klise lama. Tidak lagi menjadi seperti yang saya pikir orang-orang menginginkan saya untuk menjadi atau berperilaku seperti yang saya pikir orang-orang menginginkan saya untuk berperilaku. Being true to myself and to others. No more hiding.

Dan saya tidak perlu persetujuan orang lain untuk melakukan hal yang ingin saya lakukan di hidup saya, bukan? Ini tentang diri saya, menjadi orang yang melakukan lebih dari sekedar mengambil kesempatan yang jarang terjadi, ini tentang mengekspresikan pikiran sejati saya sendiri dan berpegang teguh pada prinsip yang saya miliki. Saya sadar bahwa sebelumnya saya telah begitu sering menempatkan ‘kredit hidup’ atas nama orang lain, bahkan sekedar memilih Outfit yang ingin saya pakai untuk acara pesta ulang tahun demi bisa ‘diterima’. Well, that suck!

Menjadi berbeda itu indah.

Cliché, tetapi saya setuju dengan pernyataan ini.

Kita seharusnya tidak pernah mencoba menjadi siapa pun kecuali diri kita sendiri. Saya sebelumnya begitu membenci diri saya dan menyalahkan diri saya untuk setiap hal kecil yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan saya. Tetapi sekarang saya telah belajar untuk memaafkan diri saya dan menerima diri saya apa adanya, dan menjadi versi terbaik yang saya bisa. Tidak apa-apa jika saya berbeda, jika saya tidak berpakaian mengikuti tren terbaru, dan jika wajah saya tidak terpajang di Feed media sosial orang-orang. Jujur saja, hal itu menakutkan. Bagaimana wajah saya ada didalam ponsel orang lain dan bagaimana orang-orang dengan mudahnya menemukan identitas seseorang hanya dengan sekali klik di internet.

“Saya suka menulis,” jawaban yang akhirnya saya katakan kepada Lily. Dia hanya tersenyum dan menganggukan kepala seperti burung pelatuk, entah apa maksud dari tindakannya itu.

Kami menikmati menu yang kami pesan sambil bertukar cerita ringan. Lily memesan Apple Strudel dan Ice Cappuccino, sedangkan saya memesan Croissant Ham dan Ice Americano. Mengingat itu adalah kali pertama saya berkunjung, saya tidak tahu banyak tentang menu yang enak disana namun saya sangat menikmati hidangan yang saya pesan. Ketika bongkahan es pada minuman saya mulai mencair, pertanyaan itu muncul. Pertanyaan yang jika saja saya bisa memilih untuk tidak menjawabnya, karena tahu respon seperti apa yang lawan bicara saya akan tampilkan. “Apa rencana selanjutnya untuk hidupmu, Jona?”.

Mengapa orang selalu bertanya apa rencana saya selanjutnya? Dan mengapa saya menjadi orang yang aneh ketika jawaban yang saya berikan tidak seperti apa yang orang-orang itu pikirkan? Mereka menanyakan hal yang bukan urusan mereka sejak awal, lalu ketika jawaban itu tidak sesuai dengan pandangan mereka, mereka seperti memiliki kewajiban untuk ‘meluruskan’ seakan mereka akan tetap peduli keesokan harinya.

Saya tidak menciptakan apapun itu yang mereka sebut sebagai Life Goals. Saya hanya menciptakan kebiasaan kecil, mengendarai ombak saya sendiri, dan berenang bersamanya. Ketika saya bebas berkeliaran ke segala arah, di situlah keajaiban dalam hidup saya terjadi. Membosankan? Saya tidak peduli. Saya bahagia, itu yang terpenting. Jika mereka tidak bisa berbahagia dengan apa yang membuat saya bahagia, dengan senang hati saya akan menunjukkan pintu keluar. Satu-satunya tujuan yang saya miliki adalah menjadi lebih baik dari diri saya kemarin.

Lagipula saya tidak ingin kehidupan yang hiruk pikuk. Impian saya adalah untuk hidup dengan tenang dengan bagian dari diri saya, belahan jiwa saya, membaca buku dengan secangkir teh Lavender ditemani kucing kesayangan saya, Ruri, dan memandang matahari terbenam di Crema. Itu dia. Hidup tenang dan damai. Seperti saya tidak perlu memiliki mimpi atau rencana, karena bagi saya hidup adalah untuk menikmati saat ini bukan menunda sesuatu untuk yang terbaik atau kesempatan yang sempurna. Saya tidak tahu apa yang akan datang nanti, jadi sebisa mungkin menemukan kesenangan di mana pun saya bisa sekarang — menulis salah satunya. Mungkin sesekali saya pernah berpikir bahwa tidak akan ada akhir yang bahagia ketika situasi begitu mencekik nafas, tapi kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan yang saya buat sepanjang perjalanan, bukan hanya diakhir cerita.

Ketika keadaan menjadi sulit, saya sadar bahwa masih ada banyak solusi untuk hal itu. Bersama kesulitan ada kemudahan. Itu benar, dan saya hanya perlu mengambil langkah mundur untuk menemukannya. Terkadang kita menciptakan pergulatan sendiri dengan menempatkan perhatian dan fokus kita di tempat yang salah. Terlalu banyak dari kita menghabiskan sebagian besar hidup mencoba untuk mengubah hal-hal di luar kendali. Kita perlu belajar untuk membuka pikiran lebih banyak tentang apa yang bisa berjalan dengan baik daripada apa yang mungkin bisa menjadi salah. Coba selalu melihat keindahan dalam hidup bahkan jika langit gelap. Terkadang hidup bukan hanya tentang menunggu hujan reda, tetapi belajar bagaimana menari di tengah hujan. Rangkul semua perasaan yang muncul ketika itu. Tidak perlu melihat keseluruhan tangga, ambil saja langkah pertama. Tidak peduli apa yang dikatakan pikiran, baik atau buruk, diri kita memiliki kendali penuh atas tindakan yang ingin kita lakukan.

Hal lain yang saya pelajari sampai saat ini adalah untuk tidak membiarkan siapa pun bersikap sewenang-wenang terhadap diri saya. Biar saya beri tahu, jika seseorang mencoba untuk tidak menghormati kalian, hentikan segera. Jika kalian membiarkannya berlalu, mereka akan melakukan yang lebih buruk lagi di lain waktu, dan siklusnya akan berulang lagi dan lagi. Jangan beri mereka kekuatan atas diri kalian, namun ajari mereka bagaimana memperlakukan diri kalian selayaknya.

Saya pernah memiliki bos yang mencoba meremehkan dan menggertak saya beberapa waktu karena alasan omong kosong yang dia ciptakan sendiri. Akhirnya saya memberi tahu dia, namun tidak di depan umum. Setelah itu dia tidak pernah meremehkan saya lagi. Saya berusia 20 tahun ketika itu, jadi saya sedikit takut tetapi lebih baik daripada terus menerima perlakuannya. Saya melihat dia merasa terkejut saya bisa melakukan itu. Jujur, wajahnya sangat lucu. Percayalah, bukan hanya dia yang terkejut, saya pun terkejut. Diri saya melakukan hal itu? I am proud of you!

Kita tidak bisa hanya berpikir, “biarkan Tuhan yang menangani hal-hal yang mereka lakukan,”. Tuhan telah memberi kita kekuatan di luar imajinasi. Kenali kekuatan ini dan gunakanlah. Jika tidak, orang-orang negatif akan menggunakan kekuatannya dan menjadikan kita budak.

Kita hidup di dunia di mana segala sesuatu bisa benar, bisa salah. Kebenaran bisa dipelintir dan kebohongan bisa dibeli dengan uang. Tidak peduli bagaimana orang melihat diri saya, saya adalah pemilik pikiran, jiwa, dan diri saya sendiri. Saya tidak perlu menandingi apapun, cukup menjadi diri sejati saya. Berbahagia dalam diri sendiri karena tidak ada yang bisa menghancurkan orang yang mencari kebahagiaan dari dalam dirinya. Hidup ini terlalu singkat untuk menerima hal lain selain yang menghasilkan sukacita. Jika sesuatu tidak mengisi saya dengan sukacita, saya akan meninggalkan itu. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah hidup menjadi lebih baik.

Bagaimanapun, saya adalah pencipta realitas saya sendiri.

Matahari terlihat tidak lagi dalam satu lingkaran penuh, saat Lily memimpin jalan kami ke tempat dimana mobilnya diparkir. Saya duduk di kursi penumpang dan menyalakan radio, Lily mulai mengendarai mobilnya keluar dari sana. Kaca jendela saya biarkan terbuka, melihat langit cukup cerah ketika itu. Angin pinggir laut mulai menyapa setelah beberapa menit kami berkendara, lalu ada sesuatu yang membuat mata saya terbuka lebar.

“Kamu punya pistol??”

“Huh? Oh… ya. Jona, saya seorang petugas polisi, dan ini mobil dinas,” dia berkata seolah itu bukan masalah besar.

“Tapi kamu seharusnya tidak meletakkan barang-barang semacam itu di dekat jangkauan siapa pun, bukan?” Saya berkomentar, menunjuk ke pistol, tidak cukup berani untuk menyentuhnya, takut itu akan menembakan peluru secara tiba-tiba.

“Ya, tentu saja. Tapi ini hanya dirimu, Jona. Saya bertaruh bahkan kamu tidak mengerti bagaimana menggunakannya,” Lily terkekeh.

Well, she was right.

But still….

Thank you for reading!

Paper White

--

--

Paper White
Paper White

Written by Paper White

Sometimes it’s much easier to translate thoughts into writing than to speak

No responses yet