Di Atas Ombak
Sebuah mimpi tentang tsunami, keberanian, dan melampaui ketakutan.
Aku tidak tahu ini di mana. Lautan asing menghampar luas di depanku—aku berdiri di dalamnya, setengah tubuhku terendam air asin dengan suhu moderat. Matahari menggantung rendah di langit, tapi warnanya aneh, keperakan, seperti bumi yang bukan bumi.
Di sekelilingku, orang-orang berteriak. Beberapa berkulit pucat dan berambut pirang—turis, kupikir. Sepertinya ini tempat wisata, tapi jelas bukan tempat yang pernah kukunjungi di dunia nyata.
Aku melihat adikku bersama istrinya — yang entah bagaimana sudah menggendong bayi mereka, seorang anak laki-laki. Padahal mereka bilang itu perempuan, dan kelahirannya masih sebulan lagi. Tapi di sini, si kecil itu sudah hadir, damai dan hangat dalam pelukan ibunya.
Lalu ombak itu datang.
Bukan gelombang biasa. Itu tembok air kelabu yang menjulang dari cakrawala, berlari seperti pasukan kuda, liar, tak ingin berkompromi.
Jeritan pecah di udara. Wajah-wajah panik membuatku meremang. Suhu air merendah. Aku saksikan tubuh-tubuh berenang, lari, tenggelam dalam ketakutan. Dadaku berdebar hebat, tapi anehnya... aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tidak melarikan diri. Aku menunggu.
Saat ombak melandai di ujungnya, aku melompat. Tubuhku melayang tinggi dari yang kupikir bisa kulakukan. Tak setetes pun air asin menyentuhku. Aku melewati puncaknya, bukan tergulung, bukan terlilit, tapi terangkat. Seolah-olah lautan memberiku kesempatan untuk selamat—asal aku berani melompat.
Dan ketika aku tercebur kembali ke laut, aku berenang. Padahal aku tak bisa berenang. Tapi saat itu, aku tahu bagaimana cara ke permukaan.
Aku berenang ke arah cahaya.
Ketika aku sampai di pantai, keluargaku sudah di sana. Utuh dan selamat. Bahkan bayi kecil itu masih terlelap, tak tahu dunia nyaris tenggelam.
Aku mendekat dan menceritakan semuanya. Bagaimana aku melompat, bagaimana aku selamat. Beberapa orang mendengarkan dengan takjub. Ada yang minta diajari. Bahkan ada yang ingin aku jadi pelatih menghadapi tsunami. Serius?
Tapi diriku ragu. Bagaimana kalau itu hanya keberuntungan satu waktu? Bagaimana kalau aku pun tak benar-benar tahu apa yang sedang kulakukan?
Aku tak menjawab. Aku naik ke balkon sebuah bangunan tinggi terbuat dari kayu papan di dekat pantai. Bangunan itu tampak rapuh, tak permanen, tapi terasa paling aman. Sama seperti saat aku merasa aman dengan diriku sendiri, waktu itu.
Dari sana, aku melihat ombak datang lagi.
Tinggi. Gelap. Mengerikan.
Tapi tak pernah menyentuh bangunan itu. Tak pernah menyentuh kami.
Seolah lautan hanya ingin mengatakan—bahwa bahkan badai paling dingin dan kelabu pun bisa dilewati. Asalkan aku berani menghadapi. Asalkan aku percaya pada diriku sendiri, bahkan saat kaki masih gemetar.
Thank you for reading!
-Paper White-
